Awan menggantung di ujung-ujung
Di tepi langit berjahit
Pelan-pelan, putih seolah berjalan.
Malam belum tinggi benar.
Saat ingatan berjalan ke belakang, disinari temaram separuh bulan
Melewati taman melati-melati putih
Yang dulu kau ceritakan, usai hujan
November tahun lalu.
Angin hembuskan mantra-mantra
Merengkuh dingin di pangkuan ibu pertiwi
Dedaun menari diiringi tetabuh sunyi
Ingatan terus mengeja setiap kisah yang telah jadi bait-bait puisi
Terus berjalan jauh ke ujung waktu
Dan seketika langkah itu terhenti, saat kutemukan prasasti bertulis pertanyaan;
“Mengapa dulu kau ceritakan aroma melati pada mawar berduri”
Jika aku tua nanti, masihkah aku tetap cantik seperti nenekku, bisakah setabah dan setegar beliau menjalani hidup yang tak mudah, atau masihkan aku ‘seperkasa’ beliau diusia senja. Ya perkasa, aku sebut begitu karena di usianya yang tak muda, ia masih sanggup membuat gerabah dari anyaman bambu seperti tampah, Kepang (alas untuk menjemur padi), Kalao (Alat untuk menyaring ampas kelapa).
Nenek mempunyai 6 orang anak, 29 Cucu, 20 cicit, dan seorang Canggah. Terkadang beliau homur tentang banyaknya anaknya begini, dalam bahasa jawa, anak ora enak di kletak, putu ora keno diulu, buyut ora enak diemut, ku kira jika Anda orang Jawa akan tahu artinya, akhirnya tawa pun pecah mewarnai pertemuan kami lebaran kemarin, tapi menurut beliau tua dengan dikelilingi banyak cucu adalah penghiburan di masa senja.
Aku sangat mengagumi nenekku, beliaulah nenek satu-satunya yang aku punya, karena nenek dari Bapakku meninggal jauh sebelum aku dilahirkan begitu pula dengan kedua kakekku, dulu aku pernah membayangkan betapa bahagianya jika memiliki empat orang kakek-nenek, pasti kalau lebaran THRnya banyak.. he..he.. ini sih pikirian masih kecil.
Jika aku tua nanti, meski usia sudah ada yang mengatur, dalam do’a aku memohon ingin dipanjangkan usia, agar bisa melihat anak cucu seperti nenekku dan pesan yang selalu disampaikan adalah, urip iku kudu nrimo ing pandum
Aku tinggalkan engkau, Sesaat saja, ini bukan kalimat perpisahanku dengan seseorang
tapi perpisahanku dengan meja kerja di kantor. Libur lebaran 1431 H kali ini aku libur mulai besok 09 sd 14 September, lumayan 5 hari, sebenarnya hari ini hanya ragaku saja yang di sini (lebay ya...?) ya tapi benar saya sudah sangat merindukan rumah.
Belum di bereskan
Rapi, dan siap ditinggal liburan
“Ingatkah kau teman,satu gelas es Marimas, sayur kates, peyek teri, dan sambel ijo menjadi menu buka puasa hampir tiap hari?
Ku balas sms tersebut hanya dengan emotikon senyum :)
Tak selang lama balasan ku terima;
“SMS apa? Kosong?”
Maka ku balas dengan bercanda, begini;
“Iya tah? Coba cek yang bener, itu isinya segelas marimas, sayur kates, peyek teri, dan sambel cabe ijo. Coba cek dulu..”
“Mana, ga ada”
Maka cepat ku balas;
“Gimana si? Mana mungkin bisa makanan dikirim lewat sms?” he..he..
Saat itu aku sadar bahwa sebenarnya kami sedang bernostalgia, sedang mengingat kebersamaan yang begitu dekat, dua tahun, bukan waktu yang sebentar walau tak terlalu lama tapi apa yang telah kami alami, walau tak seperti lagu dangdut, makan sepering berdua tidur di tikar bersama, bagaimana dulu berbagi tempat tidur, berbagi sepotong roti, bergantian kamar mandi—walau terkadang berteriak dari luar,cepetan, udah ga tahan—he..he.. dan saat kami lama tak pernah bertemu seperti sekarang, jika kalimat ini kurasakan ku kira tak berlebihan, aku rindu dan SMS ini pelipurnya.
Tanggal 8 Juli 1991, tanggal saat aku di daftarkan Bapakku di SD N I Sukajaya Punduh, Pesawaran. Sejak hari senin itu aku resmi menjadi pelajar. Ini hal besar dalam hidupku, aku masih dapat merasa semangatku saat itu, bahkan semalaman aku tak dapat tidur nyenyak karena terus membayangkan mengenakan seragam merah-putih, bersepatu, memakai topi, (Aku merasa akan sangat cantik…) Dan akhirnya pagi itu datang dengan begitu pelan menurutku. Sekolahku jauh dari rumah—kata orang-orang kampungku kira-kira tiga setengah kilo meter—tapi sampai sekarang aku belum pernah mengukur jauhnya.
Sekolah ternyata menyenangkan, begitu kira-kira yang aku rasakan saat usiaku masih tujuh tahun. Banyak perlengkapan yang di belikan ibu untuk sekolahku, seragam, sepatu, topi, buku tulis, pensil, pengahapus. Jika ibu membelikan semua itu untukku, maka Bapakku membuatkan aku hanger kayu untuk seragam sekolahku, alasannya di pasar kampung kami ibu tak menemukan penjual hanger—sekarang tentu sudah banyak, karena telah banyak yang berubah dari kampungku-- Bapak membuatnya dua, tapi ketika aku pulang terakhir kemarin aku hanya menjumpai satu, entah ke mana satu lagi, meski satu hanger tak ada, atau suatu hari nanti hanger kayu buatan Bapakku lapuk dimakan waktu, tidak ada yang dapat menghapus kenangan di hatiku, kenangan tentang Bapak-Ibuku yang begitu mencintiku, begitu memperhatikan perlengkapan sekolah anaknya dan berusaha memberi yang terbaik dari apa yang Bapak-Ibuku miliki.
Selain hanger Bapakku juga membuatkan aku sebuah rak buku dua tingkat, rak buku sederhana itu masih ada hingga sekarang, dan di gunakan pula oleh kedua adikku, terakhir aku pulang, masih mendapati buku-buku SMP dan beberapa buku SD ku.
Terimakasih Bapak…
Terimakasih Ibu…
Entah bagaimana aku membalas cinta yang engkau beri, Sedang ridhomu adalah ridho Allah jua
Hujan, hujan, dan hujan lagi, beberapa hari terakhir memang hujan sedang in, pagi hujan, siang hujan dan malam juga hujan, tak kecuali minggu kemarin, sungguh jika tak ada acara aku lebih memilih tidak ke mana-mana, di mes dengan laptop lebih nyaman, tapi minggu kemarin aku memilih pergi ke acara resepsi pernikahan teman FLP, Agi dan Diana dan untuk kali kedua bendera FLP berkibar di acara pernikahan. Jika berfoto dengan teman-teman dekat mungkin biasa saja, tapi dengan bendera mungkin jarang terjadi di saat acara pesta, entahlah apa kata tamu-tamu yang lain, mereka menatap ganjil, jika boleh aku menduga banyak di antara mereka yang membatin atau bergumam lirih “ada-ada saja” , tapi bagi kami ini sebuah kekeluargaan dan kami menandainya.
Selamat untuk kalian berdua, semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah
Barakallahu laka wabaraka alaika wajama’a bainakumaa fii khoir….
Suka cita kami yang lain saat pesta kemarin adalah kami mengantri dan menikmati setiap pondokan yang di sediakan, mulai empek-empek, tekwan, puding , dan es cendol sebelum kami menyantap menu utama, bagiku ini kali pertama pesta yang mencicipi semua pondokan yang ada, mungkin karena bersama teman-teman dekat, jadi tak harus malu
Bagiku rumah adalah tempat yang paling nyaman, sehingga aku selalu merindukannya, Sebuah Desa kecil di lembah antara Bukit Takur dan Tanggang, Sidodadi, Punduh Pidada, Pesawaran. aku hampir hafal setiap sudut desaku, maklum dulunya ‘bolang’, ada tiga sungai berbatu yang mengalir melewati desaku—dulu, aku mandi, memancing, main arum jeram dengan pohon pisang di sini-- , tempat yang dulu aku biasa menggembala kambing, tempat aku mencari bekicot utuk di jual, tempat aku main betengan dan gobak sodor, tempat aku mencari buah seri, masjid tempatku mengaji. Semua aku masih mengingatnya.
Sekarang, saat aku pulang kemarin walau sebenarnya perubahannya perlahan semua sudah banyak berubah, sungaiku tak lagi deras dan sejernih dulu, tempatku menggembala kambing telah jadi rumah, dulu aku masih sanggup meghitung jumlah penduduk desaku, sekarang penduduknya bertambah pesat, bagaimana tidak teman yang dulu adalah kawan main kecilku, sudah banyak yang mempunyai dua anak, kalau kata ayahku “Tak menyangka Sidodadi jadi desa yang ramai, yang dulunya hanya di huni sembilan keluarga” Sembilan keluarga itu termasuk Ayah dan Ibuku, tentu saat pertama desaku diberi nama Sidodadi yang artinya Jadi terlaksana oleh sembilan kepala keluarga ini, aku belum lahir. Satu perubahan lagi, di desaku sekarang telah di bangun sebuah SD, insyaallah tahun ajaran ini mulai di buka pendaftarannya, sebuah kegembiraan tentu saja, jika dulu, aku SD harus berjalan kaki kira-kira tiga setengah kilo meter (ukuran orang kampung, aku sendiri belum pernah menghitung tepatnya berapa)sekarang SD sudah dekat.
Meski di desaku telah di bangun SD tapi SD yang ada di hatiku adalah SDN I Sukajaya Punduh, di sinilah segalanya bermula, bagaimana dulu aku menyebut kata hidup jadi hudip, di sinilah aku mempunyai banyak teman yang mayoritas bersuku Lampung, belajar menggunakan Bahasa Indonesia, sebelumnya tak pernah, percakapan kami sehari-hari bahasa daerah, untukku tentu bahasa Jawa, apakah kamu bisa bayangkan dua orang siswa kelas satu SD, satu Suku Jawa yang lainnya Lampung, berkomunikaasi dengan Bahasa Indonesia namun logatnya suku masing-masing, dengan malu-malu berkenalan? Aku masih menyimpannya rapi dalam ingatan, dan aku tersenyum setiap kali mengingat peristiwa sembilan belas tahun silam, lalu tahun-tahun berikutnya berlalu begitu cepatnya di sebuah gedung yang tak tersentuh renovasi sejak berdirinya, atap bocor, jendela tak berkaca lagi, tembok jebol, seingatku SDku juga pernah kebanjiran saat aku duduk di kelas empat. Namun kini sudah ada perbaikan, bahkan sudah ada TK sistem satu atap, sebuah kemajuan, semoga akan melahirkan generasi yang pandai.
Masih banyak sebenarnya yang tak sama antara waktu aku kecil dengan sekarang di desaku, terlalu banyak bahkan, tapi yang hampir sama adalah waktu tempuh antara Natar ke Sidodadi kira-kira dua jam, kemudian yang tak berubah adalah rute perjalanan, karena hanya melewati satu jalan, jalan yang kini berlubang-lubang, membuat perjalanan terasa melelahkan, namun demikian aku tidak akan pernah lelah untuk pulang, menemui orang-orang tercinta, ayah, ibu, segala kenangan dan untuk mencipta kenangan-kenangan berikutnya.
Weekend bagiku adalah anugerah, walau sebenarnya aku kerja hingga sabtu tapi aroma weekend sudah dapat dirasa sejak hari jum’at, karena pada hari ini istirahatnya sejak pukul 11.30, karena kami—kaum hawa—tak sholat Jum’at, biasanya teman-teman kantor menghabiskan waktunya untuk makan ke tempat yang jauh, yang hari biasa tak mungkin pergi ke sana, pergi ke pasar, kebetulan tempat kerjaku tak jauh dari pasar tradisional Natar. Sesekali aku ikut makan atau ke pasar, tapi tak jarang aku pulang ke mes untuk tidur (he..he.. catatannya jika malamnya aku tidur larut) atau browsing di kantor juga hal yang menarik dengan mengabaikan telepon yang masuk—kan jam istirahat-- pokoknya thank’s God is Friday…..
Sabtu, masih tayang (baca:Kerja), tapi bank kan tutup, bagiku yang orang keuangan adalah satu kelonggaran karena tidak terlalu diuber-uber cash Flow, agak nyantai pulangnya juga jam 14.30, lebih lagi sabtu tanggal lima kemarin, tanggal gajian, sehari dua anugerah.Masih adalagi, sesampainya pulang di mes, ada suara ngiek.. ngiek.. ngiek.. ngiek.., aduh suara apa pikirku, tapi seekor induk kucing keluar dari bawah tempat tidurku, Masyaallah, dua ekor anak kucing—Putih dan Hitam—telah diboyong ibunya ke sana. Aku memang penggemar kucing sejak kecil, pernah suatu ketika kucingku mati, aku menangis setengah hari, terimakasih ini kejutan pertama.
Minggu, tentu ini hari yang ditunggu-tunggu, terlalu banyak hal yang bisa dikerjakan hari minggu, dari shopping atau sekedar cuci mata ke mall, ke toko buku, menulis puisi, memcoba membuat masakan—walau seringnya tak sesuai resep—bersih-bersih kamar, berkumpul dengan teman FLP, atau sekedar bermalas-malasan di mes sambil membaca buku, semua adalah hal menarik, tentu masih ada rutinitas minggu yang sering ku lakukan yaitu, kondangan, ini pun menarik karena dalam beberapa kesempatan bisa bertemu teman-teman lama. Tapi minggu 6 juni lalu juga special, karena aku mengahadiri acara pelatihan menulis bersama Habiburrahman EL Shirazi yang diadakan oleh FLP METRO, sejak malamnya ketua FLP menugasiku untuk membuat bahan presentasi untuk memperkenalkan FLP Lampung saat acara, katanya beliau akan datang, tentu malam minggu dengan bahan seadanya aku buat materi singkat, tapi paginya ketua FLP memintaku untuk memprensentasikan saat acara, karena beliau berhalangan hadir. Dengan agak gugup akhirnya aku terima tugas itu, nervous sie, itu kan acara besar pikirku, tapi tak apalah toh aku yang buat bahan tentu aku bisa, begitu aku berkeyakinan. Sesampainya di tempat acara, aku diberitahu oleh ketua FLP Metro bahwa ada sambutan ketua FLP Lampung, Apa???? Tapi kenapa Pak Ketua tidak memberitahuku, dia hanya bilang untuk presentasi perkenalan FLP Wilayah? Awas nanti! Ancamku. Setelah saling tunjuk untuk menggantikan Ketua sambutan, kebetulan ada koordinator humas, ku pikir tak apa memintanya menggantikan ketua sambutan, tapi akhirya aku yang sambutan sekaligus membuka acara karena yang seharusnya membuka acara adalah Wali kota Metro, tapi karena bertepatan dengan Ulang Tahun kota Metro, beliau pergi ke acara tersebut. Tentu ini mengejutkan, tak pernah terpikir untuk sambutan apalagi membuka acara sebesar itu. Masih terbayang deg-degannya pagi itu.
Pelatihan menulis itu selain di isi oleh Habiburrahman EL Shirazi juga oleh Sakti Wibowo. Acara selesai jam 16.00, setelah sholat dan bincang-bincang dengan pengurus FLP Metro, aku dan teman-teman dari Bandar Lampung—Mbak Lili, Mbak Sin-sin, Mbak Desma, Mbak Elia-- meninggalkan aula Dinas Pendidikan kota Metro. Rencanaku adalah tidur di bus Ac, tapi yang terjadi seorang ibu dengan anaknya kira-kira usianya empat tahun naik dan tidak dapat tempat duduk, untuk merelakan bangkuku untuk ibu itu jelas tingkat ikhlasku belum sampai tahap itu, toh banyak bapak-bapak (nggak bapak-bapak semua, ada yang masih muda) tetap bergeming dan pura-pura tidur. Akhirnya aku putuskan aku yang memangku anak kecil itu, ditengah perjalanan si anak tidur pulas di pankuanku sementara rencana tidurku jelas batal total, kejutan berikutnya adalah karena sudah gelap aku tidak melihat tempatku turun, dan baru sadar setelah sang kernet bilang, Pasar, ada yang pasar! Waduh tempat turunku terlewat kira-kira satu kilo meter!
Weekend oh weekend!
Raksasa itu memasak untukmu, dari mulutnya selalu terdengar serentetan perintah, “AYO”, “DIAM”, “MAKAN”, “TIDUR”, “CEPAT”. Raksasa itu mengawasi apa saja yang kamu perbuat, menentukan apa saja yang harus kamu lakukan dan tidak boleh, Mau membangkang? Tak mungkin berani, mereka berubah menjadi menakutkan ketika marah, matanya melotot, suaranya menggelegar dan tangannya yang kuat dengan mudah bisa menampar pipimu, mencubit atau memukul pantat, salah seorang dari raksasa itu bernama Ayah dan yang lain bernama Ibu.
Itu adalah kutipan Kata Pengantar buku Mendidik Dengan Cinta, karya Irawati Istadi yang kemarin aku pinjam seusai acara Rujak Party FLP di rumah teman. Baru kata pengantar yang aku baca, ya kata pengantar, bagian yang sering aku lewatkan setiap kali membaca buku, tapi tidak belakang ini bahkan semua buku yang sudah aku baca aku baca semua kata pengantarnya, bahkan lebih dari satu kali, ini karena aku kesulitan merangkai kata untuk Kata pengantar Kumpulan Puisi kami .--Aku dan Desma Hariyanti Chaniago—(Jadi curhat dheh….) Kembali ke mendidik dengan cinta, sepertinya buku psikologi anak yang bagus.
Buku lain yang aku pinjam adalah Tarapuccino Novel karya Riawani Elyta dan Rika Y Sari, tidak ada kata pengantarnya hanya ucapan Syukur dan terimakasih. Tebal Novel ini 248 halaman, belum aku baca sama sekali hanya ku lihat nomor halaman paling belakang, jika melihat dari covernya sepertinya ini kisah cinta, semoga bagus dan aku akan menceritakan kisahnya pada empunya kerena dia belum selesai membacanya begini katanya; “ini baru, aku belum selesai membaca, pijam ga papa, aku mau membaca buku pinjaman…” he..he..
Masih ada lagi bahan bacaan minggu ini, Problem at Pollensa Bay and Other Strories, karya Agatha Chistie, Tak ada kata pengantar, aku benar-benar-tergila-gila dengan kata pengantar, --lebih tepatnya kata pengantar hampir membuatku gila-- mungkin karya penulis terkenal ini tak perlu ‘diantar dengan kata-kata’. Tokoh utama adalah sepasang suami isteri Theo dan Richard, dari halaman terakhir yang aku baca, Theo akhirnya meninggalkan suaminya entah apa masalahnya tapi dialog yang diucapkan Theo;
“Dalam hidup ini, kita harus membaayar Richard, untuk dosaku aku memnbayar dengan hidup kesepian, untuk dosamu…. Yah, kau berjudi dan mmpertaruhkan segala yang kau cintai dan kau kalah!”
Hmmm dan aku harus membayar rasa penasaran dengan membaca, semoga angka-angka itu tak menggulungku dalam rutinitas dan menyisakan rasa lelah dan kantuk pada malam harinya.
Pagi ini aku cantik Sekali, walau iya ku kira tak harus aku sendiri yang mengatakan he..he.. Itu Judul sebuah buku karya azimah Rahayu, alhamdulillah ada kata pengartarnya, isinya curhat si penulis suka dukanya saat menulis buku ini. Tebal 146 halaman, berkisah hikmah dari kehidupan sehari-hari, rencanya tak kubaca langsung selesai, agar lebih terekam sempurna satu kisah aku akan berhenti dan mencoba meresapi, biasanya buku semacam ini aku bawa kerja, ketika aku ‘BT’ aku akan menyelesaikan satu kisah, catatanya bila sempat.
Akhirnya sudah terdengar suara mengaji dari masjid-masjid dan kata pengantar belum selesai ku buat.. ada yang sudi membantu.
Catatan: Thanks to Mbak Lili dan Mbak Lia untuk bukunya…..
Siapa kau pemilik mata kejora dan senyum bulan sabit?
Berjalan tergesa, saat senja pecah di pelataran
Dan ufuk barat semburat merah seolah langit tersipu malu bertemu malam
Kini senja itu telah berbilang masa
Aku merasa kehilangan sesuatu, entah apa
Mungkin nafsu makanku, waktu tidurku, bahkan juga diriku
Aku tak tahu!
Tapi saat aku ingin bertanya pada hatiku
Betapa aku dibuat terpana
;Hatiku tak ada di tempatnya!
Senja ini entah kali keberapa
Aku menanti pemilik mata kejora dan senyum bulan sabit di tempat yang sama
Tapi hingga gelap telah sempurnakan malam
Ia tak jua datang dan senja itu membuatku rindu
Kau tau tak ada senja yang benar-benar sama? tidak kemarin dengan hari ini, atau hari ini dengan esok, setiap hari punya senjanya sendiri, begitu kata temanku, ku kira ia berkata benar. Walau senja sore ini aku masih di tempat yang sama, dengan aktivitas yang nyaris sama, duduk di kursi yang kemarin, monitor usang yang kemarin, pesawat telepon yang kemarin, bahkan teman-teman di ruangan ini pun tetap sama seperti kemarin, teman-teman yang aku sanggup menghafal setiap lekuk wajahnya, mungkin gaya jalan dan bicaranya, bahkan kebiasaan-kebiasaannya, semua masih sama, tapi tidak dengan senja di luar sana, hari ini senja telah rekah dan tak punya kembaran.
Aku tidak tahu sejak kapan menyukai suasana senja atau aku hanya senang melihat langit yang tiba-tiba merona, mungkinkah langit malu bertemu malam? Bagiku senja adalah sebuah keniscayaan, seperti maut yang menjemput segala sesuatu yang disebut hidup, menjadi batas dunia dan akhirat, senja pun begitu menjadi mirip garis tipis di batas malam dan siang, ku sebut begitu karena senja hanya hadir sesaat tak ada senja sepanjang siang atau menyamai lamanya malam.
Hari ini pekerjaan usai lebih cepat dari hari biasanya, dan aku segera berkemas pulang. Langit tidak merah benar, mungkin karena senja ini mendung dan rintik gerimis sempat turun, aku berjalan santai, toh tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di mes tempat aku tinggal, bahkan aku sering bercanda jika jarak mes dan kantor ‘kepleset’ saja aku sampai di kantor dan sebaliknya. Dulu, ketika aku kost di daerah Gedung Meneng sering aku pulang berjalan kaki dari kampusku kira-kira pada jam seperti sore ini, biasanya aku tak sendiri bersama teman satu jurusan atau teman satu kamarku, walau jarak yang kutempuh cukup jauh—sepanjang jalan Sumantri Brojo Negoro-- tapi tak terasa, jarak telah menyusut oleh obrolan, mulai dari masalah mata kuliah, dosen, cita-cita, rencana menikah, sampai cerita masalalu, cinta monyet misalnya, tak terasa kostan telah di depan mata setelah melintasi pertokoan di sekitar kampus di susul trotoar panjang dengan kebun kelapa di tepi jalan jalan sebelah kanan, lumayan dengan berjalan kaki kami bisa menghemat dua ribu rupiah, jika seminggu artinya dua belas ribu, lumayan bisa untuk tambahan beli lauk, biasa anak kost kan berpotensi menderita gizi buruk.
Mengenai gizi buruk ini, aku dan satu kamarku punya cerita sendiri. Jika Ramadhan tiba, sering aku menghabiskan senja di mushola Tarbiyah Fakultas Ekonomi, tujuannya tak lain tak bukan adalah untuk ikut iftor jama’i alias buka puasa bersama GRATIS, biasanya BPH mushola menyediakan hidangan pembuka, seperti kurma, kolak, es buah dan semacamnya, setelah sholat Magrib barulah kami pulang, dan kini setelah senja-senja itu lewat beberapa tahun yang lalu, sering aku tersenyum sendiri mengingatnya. Ahhh cerita senja memang selalu membuatku rindu untuk mengulangnya.
Senja Ke -14 dibulan April 2010
Senja, entah hari ini untuk kali keberapa aku lewati jalan dengan pohon mahoni di salah satu tepi menuju mes kantor tempat tinggalku sekarang. Cukup lama aku mengakrabi tempat ini, walau tak seakrab aku dengan segala sesuatu saat senja di rumahku, sebuah desa di lembah antara bukit takur dan tanggang. Seperti senja yang sebentar lagi datang hari ini, aku belum pulang, masih terpasung menatap monitor, menghitung angka-angka yang entah berapa ujungnya, menuliskan transaksi-transaksi yang tak ada habisnya, senja yang terkadang aku masih mengakrabi telepon untuk menanyakan laporan harian cabang, atau senja yang ramai oleh derik printer dotmetrik yang seolah lelah mencetak tulisan, terkadang tak sempat aku menikmati langit yang merona, senja telah lewat dan malam telah merapatkan selimutnya ketika aku melangkahkan kaki melewati jalan itu, yang mungkin suatu saat nanti senja ini aku rindui.
Tentu senja akan terasa berbanding terbalik jika aku melewatinya di rumah. Merah di langit barat itu terasa lebih indah, menikmati sore di beranda rumah dengan suasana santai, melihat bunga-bunga kesayang ibu yang bermekaran, biasanya juga aku menghitung ayam peliharaan yang mulai masuk ke kandang, apakah ada yang dimakan elang hari? Jika aku kecil dulu itu artinya aku segera berhenti bermain, biasanya aku main ke rumah kawanku di sebrang jalan tak jauh dari rumahku, atau ibu akan memanggil dengan nada yang sangat ku hafal—Sumiraaaah sudah mau magrib waktunya pergi mengaji—lalu aku bergegas mengambil air wudhu, memakai jilblabku asal-asal, menyandang Iqro, dan mengucapkan salam terburu-buru sambil berlari dan memanggil teman bermainku tadi, terkadang aku kesal saat ibu menghentikanku di depan pintu sambil berkata “Sini jilbabnya Ibu rapihkan” memperlama saja, batinku saat itu. Dan akhirnya aku membiarkan ibu menatapku sampai aku menghilang di kejauhan menuju masjid Nurul Amal di kampungku, sepanjang perjalanan aku bercanda dengan temanku, terkadang kami harus berjalan di tepi jalan saat menemui petani yang pulang dari kebun kesorean, kemagriban lebih tepatnya, pulang dengan memikul pisang dan berjalan setengah berlari karena terlalu berat beban ku kira. Lalu Adzan telah berkumdang di masjidku, dan aku tak sempat menatap langit merah di ufuk barat namun senja-senja itu masih lekat di ingatan dan aku rindu.
Natar, senja ke-13 di bulan April 2010
Entah mengapa, sore ini tiba-tiba aku sangat rindu dengan tempat yang disebut rumah, bukan rumahnya ku kira tapi sama Bapak, Ibu dan segala suasananya, tak terasa tanganku mulai menghitung, Juli tahun ini genap sepuluh tahun aku jadi anak kost. Waktu yang cukup lama ku kira.
Entah mengapa setiap aku pulang kerja, dan mendapati kamar yang masih sama seperti ketika pagi aku pergi, aku ingin pulang ke rumah saja. Aku membayangkan jika di rumah pasti suasananya ramai, paling tidak salamku akan berbalas, lha kalau di mes kantor salamku terpantul antara dinding bisu, paling beruntung dijawab tetangga kamar, jika kebetulan sudah pulang.
Dulu, ketika aku baru masuk SD, 19 tahun yang lalu, kami sekeluarga biasanya saat sore duduk di teras sambil menikmati cemilan buatan ibu, pisang goreng atau ubi rebus dan mulai Bapak cerita tetang segala sesuatu, yang paling Bapak banggakan adalah guru-gurunya di SR (Sekolah Rakyat) yang katanya masih banyak orang londo—Belanda--, sekolahnya yang jauh, atau menulis di batu sabak –Aku juga tidak tahu seperti apa—tapi Bapak menjelaskan, setiap pelajaran yang di tulis harus segera dipahami dan hapal luar kepala masalahnya setelah itu tulisannya harus dihapus untuk menulis pelajaran berikutnya, dan saat itu aku merasa sangat bersyukur punya buku tulis dengan gambar artis cantik pula di sampulnya.
Sekali waktu, aku pernah diajari Bapak bernyanyi lagu jawa yang sampai sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas,
“Siji loro telu, lenggahe sedeku
Mirengake guru, yen lagi didangu
Papat nuli limo, lenggahe sing toto
Ojo do sembrono mundak ora biso
Lali latihan, tumut ibu kondangan
Angisin-isini dadi bocak koyo kui”
Artinya :
Satu dua tiga, duduk dengan tangan dilipat
Dengarkan guru ketika diajar
Empat kemudian lima, duduknya yang rapi
Jangan main-main, nanti tidak bisa
Lupa latihan, ikut ibu kondangan
Memalukan jadi anak demikian
Lagu yang membuatku merindukan senja yang pecah, ramai penuh keceriaan di beranda rumah.
Pada lembar-lembar catatan hati
Kusebut kau ; Cinta
Cinta
serupa embun mencintai dedaun
lalu sinar mentari meniadakannya
embun pergi bersama bias pelangi
Cinta
serupa tulusnya angin pada udara
memberi sejuk, tanpa menunjukan rupa
Cinta
Serupa setianya mentari menanti fajar
Takkan pernah terlambat memberi sinar
Cinta
Serupa rindunya bintang pada malam
Menggantikan berjaga, hingga saat fajar
Dan embun kembali membasahi dedaun.
Penulis : Ari Nur
Penerbit : Fren_ari
Tebal Halaman : 188 Halaman
Harga : Rp. 30.000,-
Inda : “Ada tentara tujuh, mati satu tinggal berapa mas?”
Bagas : “Masih seribu enam kan!” jawab Bagas yakin.
Inda : “Kok, tahu sih”
Bagas : “Iya, kan mati satu tumbuh seribu”
Begitulah kelucuan sepasang pengantin baru, Bagas dan Inda dalam novel ketiga karya Ari nur ini dan masih banyak cerita yang lebih lucu lainnya dalam setiap hari yang dilewati setelah mereka menikah.
Pernah jadi pengantin baru? Menjelang jadi pengantin Baru? Bercita-cita jadi pengantin baru? So, Baca buku karangan Ari Nur ini pasti membuat Anda mesam-mesem, seyum simpul, sampai ketawa besar (baca ketawa cekikikan), lalu yang sudah menjadi pengantin baru merasa, aku banget! Yang menjelang dan bercita-cita jadi pengantin baru, “ O begitu tho?”
Sebuah kondisi awal pernikahan yang penuh cerita, penuh pengalaman baru tentu saja, dikemas dengan apik dalam nuasa humor islami dengan bahasa keseharian yang ringan, mulai dari Ta’aruf , pesta penikahan, mencari rumah idaman –Rumahku, surgaku-- barisan mantan atau orang yang dulu ditaksir tiba-tiba muncul setelah janji suci terpatri, proses kehamilan dan melahirkan, problematika wanita kantoran yang jadi ibu baru, perjuangan untuk membuka usaha mandiri. Semua kisah di kemas secara kocak yang mengundang gelak tawa namun tetap sarat pelajaran dan yang pasti dapat menjadi bacaan alternatif untuk menghilangkan penat.
Setelah membaca buku ini, saya merasa seperti apapun hidup ini tetap menyediakan ruang bagi kita untuk bahagia dengan syarat kita harus bersyukur. Syukur bukan dalam arti nrimo apa adanya melainkan, tetap berusaha secara maksimal, berdo’a secara maksimal, kemudian menerima hasil usaha dan doa itu dengan ikhlas, itulah syukur.
Selengkapnya..Saat kecil aku miliki teman bermain, mungkin saat itu aku belum pernah mendengar kata sahabat, karena aku menyebut temanku dalam bahasa jawa –konco-- yang artinya teman. tapi sejatinya ia adalah sahabat, aku tahu itu, karena saat ia pindah rumah tak terbendung air mataku menyambut jabat tangan terakhirnya, saat itu aku belum sekolah, kira-kira usiaku lima tahun, tapi aku merasa bahwa kami akan berpisah, kami tidak akan bermain bersama lagi, menangkap capung saat mendekati adzan magrib di pelataran rumah, kabur diam-diam dari ibu kami masing-masing untuk main hujan dipancuran air, atau pergi mengaji bersama lagi, dan aku tak ingin perpisahan itu terjadi.
--apa kau tahu rasa di hatiku saat itu? Nyeri, berdesir, sedih, rasa kehilangan, lalu saat ku susut air mata dengan punggung tangan, ku hela nafas dalam-dalam, saat ku tatap wajah sahabatku, ku lihat gurat kehilangan pada tatapan mata yang bekaca-kaca, senyum tipis mengembang di bibirnya, seolah dia berpesan, “lain waktu, entah kapan, jika kita dewasa nanti, kita akan jumpa lagi, kawan” lalu rasa itu hadir lagi lebih kuat beberapa kali lipat--
Aku memeluk boneka berdiri merapat di samping ibuku, tak ada kata yang aku ucapkan, hanya Bapak dan ibuku yang masih terus berbincang dengan Ayah dan Ibu sahabatku, mungkinkah para orang tua kami tahu apa yang kami rasakan, apa mungkin mereka juga merasakan hal yang sama?
Aku memperhatikan sahabatku naik mobil bersama Ayah ibunya, saat ia telah duduk di dalam kepalanya keluar dari kaca jendela mobil yang dibuka lebar, lalu ia melambaikan tangan, ku balas lambai tangannya dan jarak akhirnya mengembang, kini aku benar-benar merasa kehilangan. Selamat Jalan Sahabat, lirihku sedih, dan sampai kisah ini ku tulis aku belum pernah bertemu sahabat kecilku ini.
***
Sahabat adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi tempat berbagi dalam hidup kita.Dialah orang yang memiliki rumus matematika ajaib, karena seorang sahabat mampu menambah suka cita, mengurangi duka, melipatgandakan semangat dan membagi kesedihan, sungguh rumus yang hanya dimiliki sahabat.
Setiap fase perjalan hidupku aku menemui sahabat yang luar biasa, setiap hal menjadi lebih menarik, lebih berwarna, dan lebih mengesankan ketika ada sahabat disetiap hal yang ku lewati, tak jarang kebahagian menjadi begitu mengharu biru, saat sebuah masalah dapat aku lewati berkat motivasi dan semangat yang diberikan seorang sahabat, dan yang sering tak dapat kulupakan adalah masalah pada masa yang lewat adalah lelucon, tak terasa getirnya sama sekali, walau tak melupakan pelajarannya.
Aku pernah mendengar sebuah ucapan bijak,--Sahabat adalah orang yang menggambarkan diri kita yang terangnya melebihi terangnya siang— menurutku ucapan bijak ini benar, karena biasanya seseorang akan mengikuti perbuatan sahabatnya, karenanya menjadi orang yang pemilih dalam hal sahabat ku kira bukan hal buruk.