Senja, entah hari ini untuk kali keberapa aku lewati jalan dengan pohon mahoni di salah satu tepi menuju mes kantor tempat tinggalku sekarang. Cukup lama aku mengakrabi tempat ini, walau tak seakrab aku dengan segala sesuatu saat senja di rumahku, sebuah desa di lembah antara bukit takur dan tanggang. Seperti senja yang sebentar lagi datang hari ini, aku belum pulang, masih terpasung menatap monitor, menghitung angka-angka yang entah berapa ujungnya, menuliskan transaksi-transaksi yang tak ada habisnya, senja yang terkadang aku masih mengakrabi telepon untuk menanyakan laporan harian cabang, atau senja yang ramai oleh derik printer dotmetrik yang seolah lelah mencetak tulisan, terkadang tak sempat aku menikmati langit yang merona, senja telah lewat dan malam telah merapatkan selimutnya ketika aku melangkahkan kaki melewati jalan itu, yang mungkin suatu saat nanti senja ini aku rindui.
Tentu senja akan terasa berbanding terbalik jika aku melewatinya di rumah. Merah di langit barat itu terasa lebih indah, menikmati sore di beranda rumah dengan suasana santai, melihat bunga-bunga kesayang ibu yang bermekaran, biasanya juga aku menghitung ayam peliharaan yang mulai masuk ke kandang, apakah ada yang dimakan elang hari? Jika aku kecil dulu itu artinya aku segera berhenti bermain, biasanya aku main ke rumah kawanku di sebrang jalan tak jauh dari rumahku, atau ibu akan memanggil dengan nada yang sangat ku hafal—Sumiraaaah sudah mau magrib waktunya pergi mengaji—lalu aku bergegas mengambil air wudhu, memakai jilblabku asal-asal, menyandang Iqro, dan mengucapkan salam terburu-buru sambil berlari dan memanggil teman bermainku tadi, terkadang aku kesal saat ibu menghentikanku di depan pintu sambil berkata “Sini jilbabnya Ibu rapihkan” memperlama saja, batinku saat itu. Dan akhirnya aku membiarkan ibu menatapku sampai aku menghilang di kejauhan menuju masjid Nurul Amal di kampungku, sepanjang perjalanan aku bercanda dengan temanku, terkadang kami harus berjalan di tepi jalan saat menemui petani yang pulang dari kebun kesorean, kemagriban lebih tepatnya, pulang dengan memikul pisang dan berjalan setengah berlari karena terlalu berat beban ku kira. Lalu Adzan telah berkumdang di masjidku, dan aku tak sempat menatap langit merah di ufuk barat namun senja-senja itu masih lekat di ingatan dan aku rindu.
Natar, senja ke-13 di bulan April 2010
•11:01 PM
This entry was posted on 11:01 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
0 comments: