Siapa kau pemilik mata kejora dan senyum bulan sabit?
Berjalan tergesa, saat senja pecah di pelataran
Dan ufuk barat semburat merah seolah langit tersipu malu bertemu malam
Kini senja itu telah berbilang masa
Aku merasa kehilangan sesuatu, entah apa
Mungkin nafsu makanku, waktu tidurku, bahkan juga diriku
Aku tak tahu!
Tapi saat aku ingin bertanya pada hatiku
Betapa aku dibuat terpana
;Hatiku tak ada di tempatnya!
Senja ini entah kali keberapa
Aku menanti pemilik mata kejora dan senyum bulan sabit di tempat yang sama
Tapi hingga gelap telah sempurnakan malam
Ia tak jua datang dan senja itu membuatku rindu
Kau tau tak ada senja yang benar-benar sama? tidak kemarin dengan hari ini, atau hari ini dengan esok, setiap hari punya senjanya sendiri, begitu kata temanku, ku kira ia berkata benar. Walau senja sore ini aku masih di tempat yang sama, dengan aktivitas yang nyaris sama, duduk di kursi yang kemarin, monitor usang yang kemarin, pesawat telepon yang kemarin, bahkan teman-teman di ruangan ini pun tetap sama seperti kemarin, teman-teman yang aku sanggup menghafal setiap lekuk wajahnya, mungkin gaya jalan dan bicaranya, bahkan kebiasaan-kebiasaannya, semua masih sama, tapi tidak dengan senja di luar sana, hari ini senja telah rekah dan tak punya kembaran.
Aku tidak tahu sejak kapan menyukai suasana senja atau aku hanya senang melihat langit yang tiba-tiba merona, mungkinkah langit malu bertemu malam? Bagiku senja adalah sebuah keniscayaan, seperti maut yang menjemput segala sesuatu yang disebut hidup, menjadi batas dunia dan akhirat, senja pun begitu menjadi mirip garis tipis di batas malam dan siang, ku sebut begitu karena senja hanya hadir sesaat tak ada senja sepanjang siang atau menyamai lamanya malam.
Hari ini pekerjaan usai lebih cepat dari hari biasanya, dan aku segera berkemas pulang. Langit tidak merah benar, mungkin karena senja ini mendung dan rintik gerimis sempat turun, aku berjalan santai, toh tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di mes tempat aku tinggal, bahkan aku sering bercanda jika jarak mes dan kantor ‘kepleset’ saja aku sampai di kantor dan sebaliknya. Dulu, ketika aku kost di daerah Gedung Meneng sering aku pulang berjalan kaki dari kampusku kira-kira pada jam seperti sore ini, biasanya aku tak sendiri bersama teman satu jurusan atau teman satu kamarku, walau jarak yang kutempuh cukup jauh—sepanjang jalan Sumantri Brojo Negoro-- tapi tak terasa, jarak telah menyusut oleh obrolan, mulai dari masalah mata kuliah, dosen, cita-cita, rencana menikah, sampai cerita masalalu, cinta monyet misalnya, tak terasa kostan telah di depan mata setelah melintasi pertokoan di sekitar kampus di susul trotoar panjang dengan kebun kelapa di tepi jalan jalan sebelah kanan, lumayan dengan berjalan kaki kami bisa menghemat dua ribu rupiah, jika seminggu artinya dua belas ribu, lumayan bisa untuk tambahan beli lauk, biasa anak kost kan berpotensi menderita gizi buruk.
Mengenai gizi buruk ini, aku dan satu kamarku punya cerita sendiri. Jika Ramadhan tiba, sering aku menghabiskan senja di mushola Tarbiyah Fakultas Ekonomi, tujuannya tak lain tak bukan adalah untuk ikut iftor jama’i alias buka puasa bersama GRATIS, biasanya BPH mushola menyediakan hidangan pembuka, seperti kurma, kolak, es buah dan semacamnya, setelah sholat Magrib barulah kami pulang, dan kini setelah senja-senja itu lewat beberapa tahun yang lalu, sering aku tersenyum sendiri mengingatnya. Ahhh cerita senja memang selalu membuatku rindu untuk mengulangnya.
Senja Ke -14 dibulan April 2010
Senja, entah hari ini untuk kali keberapa aku lewati jalan dengan pohon mahoni di salah satu tepi menuju mes kantor tempat tinggalku sekarang. Cukup lama aku mengakrabi tempat ini, walau tak seakrab aku dengan segala sesuatu saat senja di rumahku, sebuah desa di lembah antara bukit takur dan tanggang. Seperti senja yang sebentar lagi datang hari ini, aku belum pulang, masih terpasung menatap monitor, menghitung angka-angka yang entah berapa ujungnya, menuliskan transaksi-transaksi yang tak ada habisnya, senja yang terkadang aku masih mengakrabi telepon untuk menanyakan laporan harian cabang, atau senja yang ramai oleh derik printer dotmetrik yang seolah lelah mencetak tulisan, terkadang tak sempat aku menikmati langit yang merona, senja telah lewat dan malam telah merapatkan selimutnya ketika aku melangkahkan kaki melewati jalan itu, yang mungkin suatu saat nanti senja ini aku rindui.
Tentu senja akan terasa berbanding terbalik jika aku melewatinya di rumah. Merah di langit barat itu terasa lebih indah, menikmati sore di beranda rumah dengan suasana santai, melihat bunga-bunga kesayang ibu yang bermekaran, biasanya juga aku menghitung ayam peliharaan yang mulai masuk ke kandang, apakah ada yang dimakan elang hari? Jika aku kecil dulu itu artinya aku segera berhenti bermain, biasanya aku main ke rumah kawanku di sebrang jalan tak jauh dari rumahku, atau ibu akan memanggil dengan nada yang sangat ku hafal—Sumiraaaah sudah mau magrib waktunya pergi mengaji—lalu aku bergegas mengambil air wudhu, memakai jilblabku asal-asal, menyandang Iqro, dan mengucapkan salam terburu-buru sambil berlari dan memanggil teman bermainku tadi, terkadang aku kesal saat ibu menghentikanku di depan pintu sambil berkata “Sini jilbabnya Ibu rapihkan” memperlama saja, batinku saat itu. Dan akhirnya aku membiarkan ibu menatapku sampai aku menghilang di kejauhan menuju masjid Nurul Amal di kampungku, sepanjang perjalanan aku bercanda dengan temanku, terkadang kami harus berjalan di tepi jalan saat menemui petani yang pulang dari kebun kesorean, kemagriban lebih tepatnya, pulang dengan memikul pisang dan berjalan setengah berlari karena terlalu berat beban ku kira. Lalu Adzan telah berkumdang di masjidku, dan aku tak sempat menatap langit merah di ufuk barat namun senja-senja itu masih lekat di ingatan dan aku rindu.
Natar, senja ke-13 di bulan April 2010
Entah mengapa, sore ini tiba-tiba aku sangat rindu dengan tempat yang disebut rumah, bukan rumahnya ku kira tapi sama Bapak, Ibu dan segala suasananya, tak terasa tanganku mulai menghitung, Juli tahun ini genap sepuluh tahun aku jadi anak kost. Waktu yang cukup lama ku kira.
Entah mengapa setiap aku pulang kerja, dan mendapati kamar yang masih sama seperti ketika pagi aku pergi, aku ingin pulang ke rumah saja. Aku membayangkan jika di rumah pasti suasananya ramai, paling tidak salamku akan berbalas, lha kalau di mes kantor salamku terpantul antara dinding bisu, paling beruntung dijawab tetangga kamar, jika kebetulan sudah pulang.
Dulu, ketika aku baru masuk SD, 19 tahun yang lalu, kami sekeluarga biasanya saat sore duduk di teras sambil menikmati cemilan buatan ibu, pisang goreng atau ubi rebus dan mulai Bapak cerita tetang segala sesuatu, yang paling Bapak banggakan adalah guru-gurunya di SR (Sekolah Rakyat) yang katanya masih banyak orang londo—Belanda--, sekolahnya yang jauh, atau menulis di batu sabak –Aku juga tidak tahu seperti apa—tapi Bapak menjelaskan, setiap pelajaran yang di tulis harus segera dipahami dan hapal luar kepala masalahnya setelah itu tulisannya harus dihapus untuk menulis pelajaran berikutnya, dan saat itu aku merasa sangat bersyukur punya buku tulis dengan gambar artis cantik pula di sampulnya.
Sekali waktu, aku pernah diajari Bapak bernyanyi lagu jawa yang sampai sekarang aku masih mengingatnya dengan jelas,
“Siji loro telu, lenggahe sedeku
Mirengake guru, yen lagi didangu
Papat nuli limo, lenggahe sing toto
Ojo do sembrono mundak ora biso
Lali latihan, tumut ibu kondangan
Angisin-isini dadi bocak koyo kui”
Artinya :
Satu dua tiga, duduk dengan tangan dilipat
Dengarkan guru ketika diajar
Empat kemudian lima, duduknya yang rapi
Jangan main-main, nanti tidak bisa
Lupa latihan, ikut ibu kondangan
Memalukan jadi anak demikian
Lagu yang membuatku merindukan senja yang pecah, ramai penuh keceriaan di beranda rumah.