Author: ira
•12:45 AM

Selesai! Begitu batinku setelah kulahap habis novel Nafsul Mutmainah karya Anfika Noer sampai biodata penulisnya, ada rasa iri, kapan ya bisa nulis novel juga. Kutengok jam sudah pukul 23.30, sudah cukup malam, kurapihkan selimut dan zzzzzzzzz… Zzzzzz mulai kuarungi malam.


Belum sempat mimpi menyambangi alam bawah sadarku, ponselku di kagetkan sebuah SMS, lebih tepatnya aku yang kaget, “siapa sih, tidak ada namanya” aku sedikit mengerutu dalam hati, “gangu orang lagi istirahat”

“Ra, ini Fitri, do’ain aku tabah ya, ibuku mennggal,
Do’ain ibu juga ya, smg amal Ibdhnya diterima di sisi Allah”


Aku mengucek mata, sembari kutengaok jam, baru setengah jam aku tidur, kubaca sekali lagi SMS itu dengan seksama, “ibu Mbak Fitri -- Teman kantor-- Meninggal, “Innalillahi wa innaillahi rojiun” serta merta kalimat itu terucap.

Aku putuskan untuk menelpon Mbak fitri, ada sedikit pertanyaan, kenapa dia tidak menggunakan nomor yang biasanya, jangan-jangan ini nomor kerabat yang menghubungi aku, tak lama kemudian terdengar suara serak, mungkin habis menangis menjawab dari seberang,

“Assalamualaiku” terdengar parau di telingaku.

“Yang tabah ya Mbak”, Begitu ucapku sesaat setelah kujawab Salamnya, kemudian kulanjutkan,

“Besok, aku dan teman-teman InsyaAllah datang ke rumah”

“Makasih ya Ra” terdengar isak dari seberang.


Begitulah Maut, tetap rahasia, yang tidak rahasia ialah ia pasti datang, tapi kapan dan bagaimana ia menjumpai kita akan tetap rahasia hingga saat ajal menjemput. Bulu kudukku meremang mengingat dosa diri, membayangkan mati, aku belum siap menghadap-Nya.

***
Keesokan harinya, pagi-pagi hari minggu, aku forward SMS dari Mbak Fitri ke Mbak Supri, temanku yang biasa Woro-woro ke teman-teman kantor.

Tak lama setelah itu Mbak Supri menelponku, jika telepon Mbak Fitri tidak diangkat, aku bisa maklum mungkin dia tidak dengar, atau ponselnya sedang tidak di dekatnya. Kemudian aku beri nomor telepon yang semalam mengirim SMS.

Aku sedang bersiap dengan jilbab hitamku, ponselku berdering lagi, ku tengok layarnya, Mbak Supri, mungkin dia mau barengan datang takziah ke rumah Mbak Fitri, begitu aku menerka sesaat sebelum aku menjawab teleponnya.

“Ya, Mbak, gimana, kita barengan ke sana?” begitu ucapku setelah berjawab salam.

“ Hei, itu Bukan Fitri NPG” –Kantor tempat kami bekerja--, begitu ucapnya pada nada yang setengah marah.

“Bukan Mbak Fitri” aku mengecilkan volume suaraku.

“Iya, itu temanmu kuliah dulu” nada jengkel masih sedikit terdengar
“gimana sih, punya teman kok lupa”

“ Iya Mbak maaf” aku masih bingung Fitri siapakah itu, yang semalam aku telepon, kenapa aku tidak mengenali suaranya semalam, mungkin karena suaranya serak, dan parau karena usai menangis.

“Kamu, untung aku telepon dulu, kalau tiba-tiba kita berangkat ke rumah Fitri gimana?” sambung Mbak Supri.

“Ya, udah Mbak, makasih ya”


Aku memutar slide memori ku, mencoba mengingat nomor Fitri siapakah itu, dan benar saja itu Fitri, teman kuliahku. Aku benar-benar ingat sekarang, kami sudah lama tak berhubungan, tapi kenapa nomor teleponnya tidak ada di ponselku?.

Tidak terbayang kalau aku dan teman-teman kantor tiba-tiba datang ke rumah Mbak Fitri NPG, dan mendapati ibunya yang membuka pintu untuk kami. Aku menutup muka. Astaghfirullohaladzim, Ya, Allah… ampuni hamba.

This entry was posted on 12:45 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: