Menjadi bagian FLP (Forum Lingkar Pena) wilayah lampung adalah hal baik yang pernah aku miliki dalam hidup, bagaimana tidak, di FLP aku miliki teman-teman yang luar biasa, mereka seniman-seniman kata yang sedang mengejar mimpi, di FLP pula aku banyak belajar tetang menulis, dan hal yang tidak bisa dikatakan tidak beruntung adalah berkumpul dengan teman sehobi, tentu masih ada bonus-bonus lain, perhatian mereka, setidaknya bertambah lagi teman yang mengucapkan selamat saat ulang tahun, atau bertambah lagi tempat untuk mengadu saat duka singgah di hati, dan hal kecil yang aku senangi, aku bisa berkirim SMS puisi ke teman-temanku itu, bisa dibayangkan jika SMS puisi ke orang yang tidak menggemari puisi, tanggapannya pasti “apa-apaan ini orang, ngomong tidak jelas” kira-kira begitu atau kalimat-kalimat semacamnya, masih banyak lagi tapi pastinya masih senada, tentu masih banyak hal yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Satu lagi pengalaman pertamaku, Bubur Sumsum Party, kalau makan bubur sumsum sudah pernah, tentu berbeda jika bubur di jadikan icon sebuah pesta. Pesta ini berawal dari ide Mbak Laela Awalia saat kami selesai mengadakan pelatihan menulis Skenario bersama Ekky Imanjaya, Redaktur Rumah Film Jakarta yang di lanjutkan dengan Pelatihan Puisi yang diisi oleh Bang Ari Pahala Hutabaran dari Dewan Kesenian Lampung, kemudian Pelatihan Esay dengan Pemateri Joendra, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia. Acara yang dibanjiri Doorprize berupa buku-buku dari Penerbit yang mendukung acara itu antara lain, Penerbit NALAR, LPPH (Lingkar Pena Publishing House).Rangkaian acara dua hari itu kami namai “LAPUNG MENULIS” Jumlah peserta Pelatihan Sekenario yang mencapai 50 orang termasuk calon Anggota 13 Orang, adalah hal yang di luar perkiraan sekaligus menggembirakan bagi kami panitia, tentu kesuksesan ini tidak terlepas dari tim yang melakukan publikasi sampai ke Lampung Timur dan Metro, dan dibantu oleh Radio MQ FM 98,3 FM.
Sementara Pelatihan Puisi dan Esai yang didesain khusus untuk calon anggota muda FLP juga kalah seru, pelatihan ini adalah sambutan sekaligus pembekalan kepada calon anggota, harapannya acara tersebut dapat memberi motivasi kepada calon anggota dan kelak anggota-anggota FLP dapat menghasilkan karya yang dapat memberi pencerahan.
Kembali ke Bubur Sumsum Party, kata Mak Lia, ini seperti tradisi etnik Jawa yang setelah adanya hajatan mereka membuat bubur sumsum dan makan rame-rame, begitu pula kami setelah gelaran “LAMPUNG MENULIS” yang memang kami menganggapnya adalah hajatan FLP telah usai, tak ada salahnya kami membuat acara itu, selain untuk silatuhami, pada “party” itu kami bisa saling bermaafan, mungkin selama proses persiapan hingga pelaksanaan “LAMPUNG MENULIS” ada perasaan yang tidak nyaman atau ada yang merasa terlukai oleh tutur dan sikap satu sama lain, semoga itu semua sudah diikhlaskan, walau ada yang disayangkan pada acara Bubur Party tersebut tak semua Panitia dapat hadir karena agenda mereka masing-masing. Semoga lain waktu acara FLP lebih baik lagi dan untuk FLPers lebih kompak, lebih semangat dan ayo terus Menulis, menulis,menulis,menulis, wujudkan i tema kegiatan “LAMPUNG MENULIS” satu kata, ubah dunia….
Satu luka lagi bagi wajah bangsa Indonesia, setelah dulu tanggal 5 Agustus 2003, Hotel JW Marriot dibom oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, kini hotel bintang lima dengan taraf internasional itu diledakan lagi, kali ini berbarengan dengan ledakan di Hotel Ritz Charlton yang hanya berjarak 50 meter saja.
Sedianya, kesebelasan raksasa Inggris, Manchester United akan menginap di Hotel Ritz Charlton pada tanggal 20 Juli esok, dalam kunjungan ke Indonesia sekaligus akan bermain melawan Indonesia All Star, dalam pertandingan persahabatan, tapi karena musibah ini MU gagal datang, Penonton Kecewa!
Terlepas dari kekecewaan para penggila bola, tentu ada kekecewaan yang jauh lebih besar, jauh lebih dari sekedar kecewa karena gagal menyaksikan bintang lapangan kelas dunia bermain melawan pemain kebanggaan berkostum merah putih dengan lambang garuda di dada, lebih dari itu, entah berapa kali lipat, pilu dan sedih. Banyak pertanyaan muncul di benakku, yang aku sendiri tidak dapat menjawabnya, siapa pelakunya? Kenapa musti Indinesia?, berapa mereka dibayar untuk melakukan ini? Jika ia orang Indonesia tega sekali ia menodai muka ibu pertiwi? Tidakkah ia tahu di sana ada saudara seimannya? Tidakkah ia tahu di sana ada ayah yang sedang mencari nafkah? Tidakkah ia tahu, di sana ada ibu yang anaknya masih bayi? Tidakkah ia punya hati?
Tentu, pelaku adalah wayang yang berjalan sesuai skenario yang dititahkan dalang, bagimu kini boleh bangga atas suksesnya skenariomu, kau boleh membusungkan dada, lalu berpesta merayakan kemenangan, boleh pula tertawa atau tersenyum sinis atas duka ini, tapi tidakkah engkau tahu setiap kita boleh dan bebas berbuat apa saja tapi tidak dengan konsekuensinya, mungkin di dunia kau selamat dan tak tergugat, tapi tidak di akhirat, karena tidak selembar daun kering pun gugur tanpa sepengetahuan dan izin-Nya, tidakkah engkau tahu, hidup ini adalah sistem tanam tuai?
Jutaan pasang mata menyaksikan puing-puing sisa kemegahan, semoga ini ujian, jutaan pasang telinga mendengar tangis, dan pengal-pengal cerita duka, saksikan ini dengan do’a, semoga musibah ini penebus dosa, semoga musibah ini adalah ujian bagi negeri yang sedang belajar, semoga pelakunya cepat ditemukan, dan jangan sekali-kali kau sangkakan teroris untuk agama rahmatalilalamin, jika engkau bukan orang-orang yang buta matahatinya.
Natar, 18 Juli 2009
Selesai! Begitu batinku setelah kulahap habis novel Nafsul Mutmainah karya Anfika Noer sampai biodata penulisnya, ada rasa iri, kapan ya bisa nulis novel juga. Kutengok jam sudah pukul 23.30, sudah cukup malam, kurapihkan selimut dan zzzzzzzzz… Zzzzzz mulai kuarungi malam.
Belum sempat mimpi menyambangi alam bawah sadarku, ponselku di kagetkan sebuah SMS, lebih tepatnya aku yang kaget, “siapa sih, tidak ada namanya” aku sedikit mengerutu dalam hati, “gangu orang lagi istirahat”
“Ra, ini Fitri, do’ain aku tabah ya, ibuku mennggal,
Do’ain ibu juga ya, smg amal Ibdhnya diterima di sisi Allah”
Aku mengucek mata, sembari kutengaok jam, baru setengah jam aku tidur, kubaca sekali lagi SMS itu dengan seksama, “ibu Mbak Fitri -- Teman kantor-- Meninggal, “Innalillahi wa innaillahi rojiun” serta merta kalimat itu terucap.
Aku putuskan untuk menelpon Mbak fitri, ada sedikit pertanyaan, kenapa dia tidak menggunakan nomor yang biasanya, jangan-jangan ini nomor kerabat yang menghubungi aku, tak lama kemudian terdengar suara serak, mungkin habis menangis menjawab dari seberang,
“Assalamualaiku” terdengar parau di telingaku.
“Yang tabah ya Mbak”, Begitu ucapku sesaat setelah kujawab Salamnya, kemudian kulanjutkan,
“Besok, aku dan teman-teman InsyaAllah datang ke rumah”
“Makasih ya Ra” terdengar isak dari seberang.
Begitulah Maut, tetap rahasia, yang tidak rahasia ialah ia pasti datang, tapi kapan dan bagaimana ia menjumpai kita akan tetap rahasia hingga saat ajal menjemput. Bulu kudukku meremang mengingat dosa diri, membayangkan mati, aku belum siap menghadap-Nya.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi hari minggu, aku forward SMS dari Mbak Fitri ke Mbak Supri, temanku yang biasa Woro-woro ke teman-teman kantor.
Tak lama setelah itu Mbak Supri menelponku, jika telepon Mbak Fitri tidak diangkat, aku bisa maklum mungkin dia tidak dengar, atau ponselnya sedang tidak di dekatnya. Kemudian aku beri nomor telepon yang semalam mengirim SMS.
Aku sedang bersiap dengan jilbab hitamku, ponselku berdering lagi, ku tengok layarnya, Mbak Supri, mungkin dia mau barengan datang takziah ke rumah Mbak Fitri, begitu aku menerka sesaat sebelum aku menjawab teleponnya.
“Ya, Mbak, gimana, kita barengan ke sana?” begitu ucapku setelah berjawab salam.
“ Hei, itu Bukan Fitri NPG” –Kantor tempat kami bekerja--, begitu ucapnya pada nada yang setengah marah.
“Bukan Mbak Fitri” aku mengecilkan volume suaraku.
“Iya, itu temanmu kuliah dulu” nada jengkel masih sedikit terdengar
“gimana sih, punya teman kok lupa”
“ Iya Mbak maaf” aku masih bingung Fitri siapakah itu, yang semalam aku telepon, kenapa aku tidak mengenali suaranya semalam, mungkin karena suaranya serak, dan parau karena usai menangis.
“Kamu, untung aku telepon dulu, kalau tiba-tiba kita berangkat ke rumah Fitri gimana?” sambung Mbak Supri.
“Ya, udah Mbak, makasih ya”
Aku memutar slide memori ku, mencoba mengingat nomor Fitri siapakah itu, dan benar saja itu Fitri, teman kuliahku. Aku benar-benar ingat sekarang, kami sudah lama tak berhubungan, tapi kenapa nomor teleponnya tidak ada di ponselku?.
Tidak terbayang kalau aku dan teman-teman kantor tiba-tiba datang ke rumah Mbak Fitri NPG, dan mendapati ibunya yang membuka pintu untuk kami. Aku menutup muka. Astaghfirullohaladzim, Ya, Allah… ampuni hamba.
“Karena aku pernah mengenalnya, pernah menjadi adik kelas, pernah bekerjasama, dan aku merasa miliki seorang kakak yang senang bila ia ada, yang aku tak mungkin lupa gurauannya “tak GOCO”, oleh karena kini aku merasa akan kehilangan”
Begitu SMS yang ku kirim untuk temanku yang resign dari kantor pada malam hari sebelum hari H perpisahan itu terjadi. Pagi harinya pada akhir Juni lalu, telah kuputuskan aku tidak akan menangis, semoga kami akan bertemu pada kesempatan lain dengan keadaan yang lebih baik dari pertemuan pertama, saat ia menjadi kakak kelas ku di SMK I Bandar Lampung, dan pertemuan kedua saat ia menjadi Staf di NPG, tempat kami bekerja.
Percuma, walau aku sudah bertekad tidak akan menangis, nyatanya air mata itu rembes juga, saat ia berujar “Maafin salahku ya, Mbak” begitu ucapnya. Kami berjabat tangan dan sedihku luruh, kami berpeluk sejenak, “aku juga” begitu jawabku di antara isak.
Begitulah kehidupan ini, selau berjalan maju, tidak pernah ada tawaran untuk berhenti apalagi mundur, dan NPG, tempatku bekerja seolah rangkaian kereta yang yang mengantarkan kami pada tujuan kami masing-masing.
Kami duduk pada gerbong, kursi yang berbeda, sesuai dengan fungsi dan tugas kami, sama seperti penumpang kreta yang duduk sesuai tiket yang mereka beli, hanya saja kami tidak saling acuh tak acuh, kami saling membutuhkan, kami saling menyayangi dan menghormati, oleh karena ada rasa kehilangan saat salah satu dari kami telah sampai pada tujuannya.
Sejak semula memang tujuan hidup kami berbeda-beda, maka kami akan bertemu dan berpisah di tempat yang berbeda. Satu penumpang Kreta NPG telah sampai di stasiun tujuannya, dia akan turun, meninggalkan kami yang akan melanjutkan perjalanan masih dengan menumpang Kreta NPG, menuju stasiun kami masing-masing.
Selamat jalan Sobat…
Semoga jalan berikutnya, kendaraan berikutnya lebih baik dari jalan dan rel NPG,
Aku belum sampai distasiunku.
Hidup memang terus maju, Kemarin telah usai, esok belum tentu datang yang dimiliki hanya waktu saat ini, dan pasti setiap awal ada akhirnya, setiap perjumpaan ada perpisahan, oleh karenanya aku hanya ingin kerjakan sesuatu saat ini dengan cara terbaik, sayangi kerabat dengan cara terbaik, dan tentu persiapkan perpisahan yang sebenarnya dengan sepenuh hati.
Ku mohon pada-Mu "Kesabaran yang sanggup menanti lengkung pelangi usai hujan"