Senja renta membawa pesan dari surga
;Dunia ini penjara
Jangan menepuk dada
Engkau hanya tawanan
Senja tua di kaki langit barat mengabarkan
Pada hari pembebasan ‘kan ada kekasih
Dia menjemput
Dia setia menunggu
Dia tidak pernah ingkari janji
Dia pasti datang
Memeluk erat, menghisap kepedihan
Dialah kekasih,
Dia, kematian
Selengkapnya..
Judul : Luka di Champs Elysees
Pengarang : Rosita Sihombing
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa
Tebal : 186 halaman
Harga : Rp 32.500,
Gemah Ripah Loh Jinawi, begitulah Indonesia disebut-sebut, tetapi kenyataanya negeri yang kaya raya ini tidak mampu menjamin kehidupan yang layak bagi seluruh rakyatnya. Ini terbukti dengan banyaknya perempuan Indonesia yang menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita), mereka mengais rezeki di negeri orang, menjadi pembantu demi kelangsungan hidup keluarganya.
Novel Luka di Champs Elysees ini berkisah perjuangan seorang TKW yang menjadi “pahlawan” bagi keluarganya. Kenyataan yang dihadapi Karimah, tokoh aku dalam novel ini, membenarkan pepatah “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, elok juga di negeri sendiri” Kehidupannya di Indonesia yang serba pas-pasan belumlah sepadan dibanding kekejaman, penindasan hingga pelecehan seksual yang dilakukan majikannya di Riyadh. Hari yang dilewatinya selalu dihantui ketakutan dan kecemasan.
Sampai pada suatu musim semi, majikan mengajakanya berlibur ke Negara Napoleon, Prancis. Di sanalah Karimah melepaskan semua penderitaan dan kecemasan akibat perlakuan majikan yang tidak manusiawi. Karimah memilih melarikan diri dari majikan dan menghilang di Jalan Champs Elysees, Paris.
Dengan alur cerita maju mundur, Rosita Sihombing menceritakan keindahan kota Paris dengan sangat nyata. Paris dari ketinggian menara Eifel. Sungai Seine membelah kota, meliuk bak ular panjang dan pada malam hari Champs Elysees, menara Eifel dan setiap sudut kota Paris bermandikan cahaya, gemerlap terang. Sungguh pembaca dibuat seolah berada dan melihat sendiri keindahan Paris.
Kota Paris digambarkan sedemikian indah, seindah syair lagu Champ Elysees yang dinyanyikan Joe Dassin,
“Kau katakan ada pertemuan di sebuah tempat
Dengan orang-orang unik
Yang hidup dari malam sampai pagi, dengan membawa gitar di tangannya
Maka, kutemani dirimu, kita bernyanyi, kita menari
Bahkan tidak terpikir oleh kita untuk bersentuhan.”
Paris sebuah kota impian. Di sinilah Karimah memulai petualangan barunya, tidak mudah baginya hidup di negeri asing yang bahasanya saja ia tidak mengerti, lebih lagi ia adalah warga ilegal. Dalam keadaan sulit ini Karimah bertemu dengan “Malaekat Penolong”, Hamed, lelaki asal Aljazair. Belum saja masalah dokumen imigrasi dapat diselesaikan sebuah kesalahan mereka lakukan. Dalam ketidakberdayaanya Karimah merasa mengkhianati Pardi, suaminya di tanah air, tetapi ia lakukan itu bukan tanpa alasan.
Konflik yang disajikan sederhana setiap orang dapat mengalami jika berada pada pilihan yang demikian, hanya saja karekter dan perasaan yang dialami tokoh kurang dieksplor, kurang “menggigit”. Penuturan dalam bahasa yang mudah dan konflik yang di selesaikan lebih cepat secara kebetulan membuat novel ini terkesan terlalu cepat rampung.
Membaca Luka di Champs Elysees memberi inspirasi kepada kita bahwa sesulit apapun, hidup tetap layak untuk diperjuangkan.
Selamat membaca…
Selengkapnya..
Apakah hati sebuah bangunan?
Berdindingkah,
Beratap juga?
Seluas, Setinggi apa?
Berpintukah,
Adakah jendela?
Jika bukan,
Mengapa perasaan singgah,
Berteduh saat terik matahari
Berlindung saat petir dan hujan turun.
Adakah hati itu ruangan?
Natar, 12 Januari 2009
Selengkapnya..
Seperti apa terbebas dari dendam derita?
Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan
Dari cengkraman luka.
(Joko Pinurbo 2005)
Sejenak aku terpaku, kemudian perih menjejak kuat hatiku, setelah membaca puisi ini.
Puisi yang singkat namun mampu menggambarkan hati yang sangat sakit, nyeri.
Dendam biasanya timbul oleh disakitinya tubuh dan atau hati, sehingga meninggalkan luka. Tak jarang luka tubuh telah sembuh, namun hati belum terobati.
Tidak mudah memang memaafkan sekaligus melupakan. Hanya hati pembrani yang mampu melakukannya. Tak jarang mulut mengatakan “aku sudah memaafkan tetapi tidak akan pernah lupa seumur hidup.” Sungguh ini sama sekali bukan maaf karena FORGIVE = FORGET.
Melepaskan pisau yang menikam hati memang nyeri, namun setelah itu luka dapat benar-benar sembuh, dan ini jauh lebuh baik dari pada tetap membiarkan pisau dendam mencengkram hati.
Selengkapnya..
Ini puisi hasil writing class FLP minggu, 11 Januari 2009 yang bertempat depan perpustakaan umum Unila. Sungguh hal yang menyenangkan bertemu orang-orang yang mempunyai hobi yang sama (katakan saja begitu, walau mungkin ada sebagian dari kami menulis bukan hobi tapi butuh).
Sebenarnya ini bukan tema yang lahir dari benak ku, karena kemarin yang kutulis di kertas "arisan tema" adalah pendidikan, karena sebelum pergi aku melihat berita unjuk rasa menentang pengesahan UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan). Eh, ga’ taunya pas kertas "arisan tema" dikocok aku dapet “Tema Kampung Halaman”. Aku baru sadar udah lama ga pulang kampung….. jadi kangennya tambah banyak. Akhirnya kangen itu tumpah di puisi ini.
Kampung Halaman
Rindu mengalun
Lekat tiap langkah
Serupa irama angin pada alam
Saat senja merona jingga
Malam lebih sempurna
Gelap pun pekat,
Pijar ublik bergoyang
Diangkasa, mengerling manja bintang gemintang
Jangkrik hutan mulai bertasbih, memuji Tuhan
Dingin malam menembus dinding
Harum udara pagi
Terpatri di hati
Segar dalam ingatan
Dua bukit berselimut putih saling berpandang, Takur dan Tanggang (*
Terkisah sebuah lembah, indah
Hamparan ilalang putih mengembang
Seruling anak gembala, merdu
Gadis berkepang dua menyandang keranjang baju
Turun ke sungai, berjalan malu-malu.
Kampung halaman, aku rindu.
Bdl,11/01/09
Selengkapnya..