Author: ira
•11:18 PM



Hujan, hujan, dan hujan lagi, beberapa hari terakhir memang hujan sedang in, pagi hujan, siang hujan dan malam juga hujan, tak kecuali minggu kemarin, sungguh jika tak ada acara aku lebih memilih tidak ke mana-mana, di mes dengan laptop lebih nyaman, tapi minggu kemarin aku memilih pergi ke acara resepsi pernikahan teman FLP, Agi dan Diana dan untuk kali kedua bendera FLP berkibar di acara pernikahan. Jika berfoto dengan teman-teman dekat mungkin biasa saja, tapi dengan bendera mungkin jarang terjadi di saat acara pesta, entahlah apa kata tamu-tamu yang lain, mereka menatap ganjil, jika boleh aku menduga banyak di antara mereka yang membatin atau bergumam lirih “ada-ada saja” , tapi bagi kami ini sebuah kekeluargaan dan kami menandainya.

Selamat untuk kalian berdua, semoga menjadi keluarga Sakinah, Mawadah, Warahmah
Barakallahu laka wabaraka alaika wajama’a bainakumaa fii khoir….

Suka cita kami yang lain saat pesta kemarin adalah kami mengantri dan menikmati setiap pondokan yang di sediakan, mulai empek-empek, tekwan, puding , dan es cendol sebelum kami menyantap menu utama, bagiku ini kali pertama pesta yang mencicipi semua pondokan yang ada, mungkin karena bersama teman-teman dekat, jadi tak harus malu

Selengkapnya..
Author: ira
•10:52 PM

Bagiku rumah adalah tempat yang paling nyaman, sehingga aku selalu merindukannya, Sebuah Desa kecil di lembah antara Bukit Takur dan Tanggang, Sidodadi, Punduh Pidada, Pesawaran. aku hampir hafal setiap sudut desaku, maklum dulunya ‘bolang’, ada tiga sungai berbatu yang mengalir melewati desaku—dulu, aku mandi, memancing, main arum jeram dengan pohon pisang di sini-- , tempat yang dulu aku biasa menggembala kambing, tempat aku mencari bekicot utuk di jual, tempat aku main betengan dan gobak sodor, tempat aku mencari buah seri, masjid tempatku mengaji. Semua aku masih mengingatnya.

Sekarang, saat aku pulang kemarin walau sebenarnya perubahannya perlahan semua sudah banyak berubah, sungaiku tak lagi deras dan sejernih dulu, tempatku menggembala kambing telah jadi rumah, dulu aku masih sanggup meghitung jumlah penduduk desaku, sekarang penduduknya bertambah pesat, bagaimana tidak teman yang dulu adalah kawan main kecilku, sudah banyak yang mempunyai dua anak, kalau kata ayahku “Tak menyangka Sidodadi jadi desa yang ramai, yang dulunya hanya di huni sembilan keluarga” Sembilan keluarga itu termasuk Ayah dan Ibuku, tentu saat pertama desaku diberi nama Sidodadi yang artinya Jadi terlaksana oleh sembilan kepala keluarga ini, aku belum lahir. Satu perubahan lagi, di desaku sekarang telah di bangun sebuah SD, insyaallah tahun ajaran ini mulai di buka pendaftarannya, sebuah kegembiraan tentu saja, jika dulu, aku SD harus berjalan kaki kira-kira tiga setengah kilo meter (ukuran orang kampung, aku sendiri belum pernah menghitung tepatnya berapa)sekarang SD sudah dekat.

Meski di desaku telah di bangun SD tapi SD yang ada di hatiku adalah SDN I Sukajaya Punduh, di sinilah segalanya bermula, bagaimana dulu aku menyebut kata hidup jadi hudip, di sinilah aku mempunyai banyak teman yang mayoritas bersuku Lampung, belajar menggunakan Bahasa Indonesia, sebelumnya tak pernah, percakapan kami sehari-hari bahasa daerah, untukku tentu bahasa Jawa, apakah kamu bisa bayangkan dua orang siswa kelas satu SD, satu Suku Jawa yang lainnya Lampung, berkomunikaasi dengan Bahasa Indonesia namun logatnya suku masing-masing, dengan malu-malu berkenalan? Aku masih menyimpannya rapi dalam ingatan, dan aku tersenyum setiap kali mengingat peristiwa sembilan belas tahun silam, lalu tahun-tahun berikutnya berlalu begitu cepatnya di sebuah gedung yang tak tersentuh renovasi sejak berdirinya, atap bocor, jendela tak berkaca lagi, tembok jebol, seingatku SDku juga pernah kebanjiran saat aku duduk di kelas empat. Namun kini sudah ada perbaikan, bahkan sudah ada TK sistem satu atap, sebuah kemajuan, semoga akan melahirkan generasi yang pandai.

Masih banyak sebenarnya yang tak sama antara waktu aku kecil dengan sekarang di desaku, terlalu banyak bahkan, tapi yang hampir sama adalah waktu tempuh antara Natar ke Sidodadi kira-kira dua jam, kemudian yang tak berubah adalah rute perjalanan, karena hanya melewati satu jalan, jalan yang kini berlubang-lubang, membuat perjalanan terasa melelahkan, namun demikian aku tidak akan pernah lelah untuk pulang, menemui orang-orang tercinta, ayah, ibu, segala kenangan dan untuk mencipta kenangan-kenangan berikutnya.

Selengkapnya..
Author: ira
•9:55 PM

Weekend bagiku adalah anugerah, walau sebenarnya aku kerja hingga sabtu tapi aroma weekend sudah dapat dirasa sejak hari jum’at, karena pada hari ini istirahatnya sejak pukul 11.30, karena kami—kaum hawa—tak sholat Jum’at, biasanya teman-teman kantor menghabiskan waktunya untuk makan ke tempat yang jauh, yang hari biasa tak mungkin pergi ke sana, pergi ke pasar, kebetulan tempat kerjaku tak jauh dari pasar tradisional Natar. Sesekali aku ikut makan atau ke pasar, tapi tak jarang aku pulang ke mes untuk tidur (he..he.. catatannya jika malamnya aku tidur larut) atau browsing di kantor juga hal yang menarik dengan mengabaikan telepon yang masuk—kan jam istirahat-- pokoknya thank’s God is Friday…..
Sabtu, masih tayang (baca:Kerja), tapi bank kan tutup, bagiku yang orang keuangan adalah satu kelonggaran karena tidak terlalu diuber-uber cash Flow, agak nyantai pulangnya juga jam 14.30, lebih lagi sabtu tanggal lima kemarin, tanggal gajian, sehari dua anugerah.Masih adalagi, sesampainya pulang di mes, ada suara ngiek.. ngiek.. ngiek.. ngiek.., aduh suara apa pikirku, tapi seekor induk kucing keluar dari bawah tempat tidurku, Masyaallah, dua ekor anak kucing—Putih dan Hitam—telah diboyong ibunya ke sana. Aku memang penggemar kucing sejak kecil, pernah suatu ketika kucingku mati, aku menangis setengah hari, terimakasih ini kejutan pertama.
Minggu, tentu ini hari yang ditunggu-tunggu, terlalu banyak hal yang bisa dikerjakan hari minggu, dari shopping atau sekedar cuci mata ke mall, ke toko buku, menulis puisi, memcoba membuat masakan—walau seringnya tak sesuai resep—bersih-bersih kamar, berkumpul dengan teman FLP, atau sekedar bermalas-malasan di mes sambil membaca buku, semua adalah hal menarik, tentu masih ada rutinitas minggu yang sering ku lakukan yaitu, kondangan, ini pun menarik karena dalam beberapa kesempatan bisa bertemu teman-teman lama. Tapi minggu 6 juni lalu juga special, karena aku mengahadiri acara pelatihan menulis bersama Habiburrahman EL Shirazi yang diadakan oleh FLP METRO, sejak malamnya ketua FLP menugasiku untuk membuat bahan presentasi untuk memperkenalkan FLP Lampung saat acara, katanya beliau akan datang, tentu malam minggu dengan bahan seadanya aku buat materi singkat, tapi paginya ketua FLP memintaku untuk memprensentasikan saat acara, karena beliau berhalangan hadir. Dengan agak gugup akhirnya aku terima tugas itu, nervous sie, itu kan acara besar pikirku, tapi tak apalah toh aku yang buat bahan tentu aku bisa, begitu aku berkeyakinan. Sesampainya di tempat acara, aku diberitahu oleh ketua FLP Metro bahwa ada sambutan ketua FLP Lampung, Apa???? Tapi kenapa Pak Ketua tidak memberitahuku, dia hanya bilang untuk presentasi perkenalan FLP Wilayah? Awas nanti! Ancamku. Setelah saling tunjuk untuk menggantikan Ketua sambutan, kebetulan ada koordinator humas, ku pikir tak apa memintanya menggantikan ketua sambutan, tapi akhirya aku yang sambutan sekaligus membuka acara karena yang seharusnya membuka acara adalah Wali kota Metro, tapi karena bertepatan dengan Ulang Tahun kota Metro, beliau pergi ke acara tersebut. Tentu ini mengejutkan, tak pernah terpikir untuk sambutan apalagi membuka acara sebesar itu. Masih terbayang deg-degannya pagi itu.

Pelatihan menulis itu selain di isi oleh Habiburrahman EL Shirazi juga oleh Sakti Wibowo. Acara selesai jam 16.00, setelah sholat dan bincang-bincang dengan pengurus FLP Metro, aku dan teman-teman dari Bandar Lampung—Mbak Lili, Mbak Sin-sin, Mbak Desma, Mbak Elia-- meninggalkan aula Dinas Pendidikan kota Metro. Rencanaku adalah tidur di bus Ac, tapi yang terjadi seorang ibu dengan anaknya kira-kira usianya empat tahun naik dan tidak dapat tempat duduk, untuk merelakan bangkuku untuk ibu itu jelas tingkat ikhlasku belum sampai tahap itu, toh banyak bapak-bapak (nggak bapak-bapak semua, ada yang masih muda) tetap bergeming dan pura-pura tidur. Akhirnya aku putuskan aku yang memangku anak kecil itu, ditengah perjalanan si anak tidur pulas di pankuanku sementara rencana tidurku jelas batal total, kejutan berikutnya adalah karena sudah gelap aku tidak melihat tempatku turun, dan baru sadar setelah sang kernet bilang, Pasar, ada yang pasar! Waduh tempat turunku terlewat kira-kira satu kilo meter!

Weekend oh weekend!

Selengkapnya..